Profil Geologi
JA KATILLI HOME | |
|
|
Doktor Geologi Pertama
Mantan Wakil Ketua MPR Prof Dr John Ario Katili meninggal dunia Kamis 19 Juni 2008 sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta. Doktor pertama di bidang geologi dari ITB (cum laude 1960) kelahiran Gorontalo, 9 Juni 1929, itu meninggal akibat pembuluh darah di bagian kakinya pecah.Dibawa ke RSPI Rabu 18 Juni 2008 sekitar pukul 18.00 dan sempat dirawat di ruang ICU. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka perumahan Bintaro Sektor III, Jalan Pinguin V CH 6 Jakarta Selatan. Dimakamkan Jumat (20/6). Katili meninggalkan seorang istri, Ny Ileana Syarifa Uno, dan dua anak, Amanda Katili dan Werner Katili.
JA Katili, menjadi anggota DPR 1992-1997 dan menjabat Wakil Ketua DPR/MPR. Sebelumnya menjabat Dirjen Pertambangan Umum, 1973-1984 dan Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Pertambangan dan Energi (1984-1989).
Selain berkarir di legislatif dan pemerintahan, dia juga pernah menjabat pembantu Rektor ITB dan Dekan Departemen Teknologi Mineral ITB. Guru Besar ITB itu menulis sedikitnya 11 buku dan 250 karya tulis. Kepakarannya di bidang geologi sangat dihormati di dunia internasional. Dia menjadi Ketua South East Asia of Geological Socientis dan anggota The National Geographyc Society.
Atas berbagai pengabdiannya, dia mendapat anugerah Bintang Mahaputra, Medali Kehormatan Commandeur de L'Ordre National du Merite dari pemerintah Perancis. Sejumlah penghargaan juga diperoleh dari pemerintah Kerajaan Belanda, Swedia dan Rusia.
****
Peluncuran Biografi JA Katili
Peran Vital Ilmu Kebumian
Jakarta, Kompas 27 Juli 2007- Bumi Indonesia ibaratnya pedang bermata dua. Di satu sisi berisi materi yang dapat membawa kekayaan berlimpah, tetapi juga dapat membawa musibah. Untuk mengelola bumi tersebut, peran ilmu terkait kebumian seperti geologi sangat penting.Salah satu tokoh setia dalam menggeluti ilmu tersebut ialah John Ario Katili yang meluncurkan biografinya, Rabu (25/7) malam. Peluncuran buku biografi JA Katili, Harta Bumi Indonesia, tersebut dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.
JA Katili diangkat sebagai guru besar geologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1961. Dia juga sempat berkarier sebagai Direktur Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi. Katili pernah menjabat sebagai Presiden Pertama Asosiasi Perhimpunan Ahli-ahli Geologi Asia Tenggara.
Kariernya di bidang politik antara lain menjadi Wakil Ketua MPR/DPR (1992-1997) serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Federasi Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Mongolia (1999-2003).
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya mengatakan, JA Katili merupakan seorang saintis, birokrat, dan politisi sekaligus. Meski demikian JA Katili tidak pernah meninggalkan bidang kepakarannya.
Bumi Indonesia, dalam pandangan Jusuf Kalla, mempunyai dua sisi, yakni manfaat dan musibah, sehingga peran geologi sangat penting.
“Tiga tahun terakhir seakan bumi kita hanya membawa musibah melulu yang kemudian menimbulkan berbagai tanda tanya. Hanya saintis yang dapat menjelaskan, termasuk juga soal gempa, tsunami, dan belakangan kejadian luapan lumpur di Sidoarjo,” ujarnya.
Di sisi lain, sejak lama bumi Indonesia dikenal dengan kekayaannya, seperti kekayaan mineral tambang. Sebetulnya berbagai kesulitan kita seharusnya dapat diatasi dengan menggunakan kekayaan luar biasa itu. Di dunia, misalnya, sedikit sekali negara yang mempunyai tiga jenis mineral strategis, yakni tembaga, nikel, dan bauksit sekaligus seperti di Indonesia.
“Mungkin kita kalah di bidang manufaktur dan jasa, tetapi kita memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Untuk mengelolanya, kita membutuhkan keahlian. Sekarang masih kita serahkan kepada orang asing untuk pengelolaannya. Kita butuh banyak geolog muda yang mau mengelola sumber daya alam kita. Biografi ini akan memberikan petikan pengalaman dan pencerahan bagaimana agar kekayaan alam itu dapat bermanfaat bagi kita,” ujarnya.
Amanda Katili, putri pertama JA Katili, menambahkan, buku itu sekaligus untuk memberikan referensi tentang dinamika bumi, sumber daya alam, dan termasuk di dalamnya pelestarian lingkungan hidup. “Buku untuk memberikan gambaran bagaimana seorang saintis terbentuk,” ujarnya.
Amanda, yang juga merupakan anggota Staf Khusus Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, berharap dengan terbitnya buku itu semakin banyak yang memerhatikan dinamika bumi dan kelestarian lingkungan hidup. (INE
John dan Ilmu Kebumian bagi Bangsa
NINOK LEKSONO
Malam itu, Rabu (25/7) di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, John Ario Katili sibuk menerima ucapan selamat dari hadirin yang datang dari berbagai lingkungan berbeda. Pria berusia 78 tahun itu menjadi tuan rumah bagi para tamu yang hadir, di antaranya Wapres M Jusuf Kalla, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, geolog Belanda Prof Herman Verstappen, Rektor ITB Djoko Santoso, Illy (istrinya), serta anak dan cucu.
Melihat riwayat hidupnya, wajar kalau sosok yang akrab dipanggil John oleh sebayanya, atau Pak Katili oleh generasi cucu murid seperti Rektor ITB ini, punya banyak teman dari berbagai lingkungan. John adalah geolog dan ahli ilmu kebumian top, pendidik, birokrat, politisi, serta diplomat.
Akan tetapi, dari semua itu, ciri yang paling menonjol dari John adalah sebagai ilmuwan. Tentang hal ini, Wapres punya cerita. Saat John jadi duta besar di Moskwa, Kalla datang sebagai Menteri Perdagangan. Ketika semobil, ia berharap John berkomentar tentang perdagangan, nyatanya dia terus berkisah tentang ilmu kebumian.
“Sebetulnya saya rada bosan,” kata Wapres. Tetapi, itulah John yang ia anggap sebagai orang Bugis meski kelahiran Gorontalo. Selesai sebagai dubes, John menghadap Kalla dan memberinya buku. Kalla mengira itu buku tentang Rusia, ternyata masih tentang geologi.
Namun, Wapres menghargai dedikasi dan ilmu yang digeluti John. Ketika wilayah Indonesia banyak diguncang bencana alam, seperti tsunami dan gempa bumi, apa yang dipelajari John dirasanya makin penting dan relevan.
Di luar itu, Wapres menegaskan, dunia dewasa ini dicirikan tiga kebutuhan yang demikian menekan, yakni energi, komoditas, dan mineral. Untuk isu tersebut, banyak pengalaman dan ilmu John yang bisa dimanfaatkan.
John memang sosok otoritatif untuk soal-soal itu. Hal ini tercermin pula dari judul biografinya yang malam itu diluncurkan, Harta Bumi Indonesia (Grasindo, 2007). Kalau saja ada banyak orang Indonesia yang cakap dalam ilmu kebumian seperti John, kekalahan bangsa ini di bidang manufaktur dan layanan (services) bisa di-offset dengan kemampuan menggali harta bumi Indonesia.
Wapres menyebut JA Katili sebagai sosok pencerahan karena ia—yang bersama teman seangkatannya memilih jurusan geologi FIPIA UI tahun 1950—figur yang punya visi bahwa negeri seperti Indonesia yang terentang sepanjang 5.000 km, rumah bagi 129 gunung api, dan tempat bertemunya tiga lempeng tektonik utama dunia jelas membutuhkan ahli geologi.
Bersama dengan vulkanologi, geofisika dan meteorologi, geologi amat penting tak saja untuk hidup lebih arif di tengah alam yang amat dinamik, tetapi juga untuk bisa menambangnya secara bijak.
Kalau kemudian John bisa menyusuri karier di bidang yang amat ditekuninya, itu tak lepas dari keahlian khusus yang dimilikinya sebagai profesional. Keahlian khusus ini memang dia pupuk dengan tekun melalui riset dan sosialisasi sains. Misalnya, John menulis Ihtisar 3.000.000.000 Tahun Sejarah Bumi yang menjadi salah satu bacaan favorit siswa SMP pada paruh dekade 1950-an.
Kalau masyarakat Indonesia mau menyusuri kembali buku- buku—ada 11—yang ditulis John, banyak inspirasi yang bisa digali. Misalnya tentang bagaimana sumber alam bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan ketahanan nasional seperti yang dia tulis.
Penuh warna
Dengan 11 buku dan 250 artikel ilmiah, John tak diragukan lagi sebagai penulis produktif. Hobi yang ditekuni sejak lepas mahasiswa tingkat satu tak bisa dilepaskan dari peranan HB Jassin, yang saat itu menjadi anggota redaksi majalah mingguan Mimbar Indonesia. Jassin-lah yang melihat potensi John untuk menyalurkan hard science kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami.
Jalinan asmara dengan Illy, panggilan Ileana, yang masih keponakan dalam hubungan keluarga pun tak kalah menarik. Keakraban sejoli ini berawal dalam acara pengumpulan dana untuk membangun kembali Masjid Agung Baiturrahim di Gorontalo akibat gempa besar tahun 1939.
Padahal, seperti dikutip oleh Agung Adiprasetyo, CEO Kompas-Gramedia, yang memberi sambutan mewakili penerbit, John hanya melihat kambing setiap bangun tidur, sementara Illy melihat mobil karena ia berasal dari kalangan the haves.
Namun, dalam perkembangan John diberkati kekayaan ilmu, pengalaman birokrasi dan diplomasi, yang mengantarkan dia pada berbagai jabatan penting. Untuk birokrasi, tampaknya John terkesan pada pertemuannya dengan ko-proklamator Mohammad Hatta.
Selain menegaskan kekayaan Indonesia dalam mineral, Bung Hatta sempat bertanya, “Apa yang bisa dilaksanakan dengan pengetahuan geologi yang Saudara kuasai?” Batu itu kan menghasilkan mineral, tambah Bung Hatta. “Ya Pak,” jawab John. “Apakah Saudara juga tahu kalau mineral itu mempunyai peranan utama dalam percaturan hubungan internasional?” tanya Bung Hatta lagi.
Selaku Dirjen Pertambangan, John banyak terlibat dalam berbagai penetapan kebijakan, perundingan, dan penegakan cara kerja birokrasi modern yang cepat dan dinamis.
Kecekatan, juga dalam mengambil inisiatif, dipraktikan John ketika mengemban tugas sebagai dubes di Moskwa. Ini pun termasuk proses menarik karena untuk jabatan itu Presiden BJ Habibie (waktu itu, 1999) yang mengangkat dia, Presiden Gus Dur menyetujui, dan Wapres Megawati yang melantik.
Ia tiba di Moskwa 11 Desember 1999, dan lima hari kemudian menyerahkan surat kepercayaan kepada (mendiang) Presiden Boris Yeltsin. Seperti tertuang dalam biografi, John mengenal baik negara tempat ia bertugas. Sebagai bukan diplomat karier, ia berhasil membuktikan diri bukan diplomat karbitan. Pengalaman dalam perundingan internasional, juga sebagai goodwill ambassador, ada padanya.
Peristiwa berarti yang terselenggara selama dia menjadi dubes adalah Forum Komisi Bersama Indonesia-Rusia tahun 2002. Sidang yang dihadiri sekitar 100 orang, termasuk menteri luar negeri dan pejabat tinggi kedua negara, sempat mengundang kekaguman Menlu Rusia yang berkomentar, John “salah satu dubes terbaik di Moskwa”.
Dia tak saja telah menerbangi dunia dan berbagai karier, tetapi satu hal yang tetap dekat di hatinya adalah alam Gorontalo, kampung halaman indah yang sejauh mata memandang hanya barisan elok pepohonan hijau dalam lindungan pagar bukit berselimut kabut.
John beringsut pada usia senja, tetapi inspirasi yang ia torehkan bagi bangsa Indonesia justru semakin muda dan segar. Dengan tsunami, gempa, dan letusan gunung membuat ilmu kebumian yang ia geluti setengah abad silam justru makin terasakan makna dan kegunaannya. ►e-ti/tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar